Monday, 9 May 2016

Manusia dan Keadilan

Ilmu Budaya Dasar
(Manusia dan Keadilan)







Kelompok 6


Ersa Febriandi Mahendra     : 12115264
Fanny Dwi Fabian                : 12115467
Jody Rinaldy                         : 13115578
Suryo Tri Wibowo                : 16115726

A.Pengertian Keadilan

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.  Kelayakan diartikan sebagai titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrim itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh  akal.
Lain lagi pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.  Mengapa diproyeksikan pada pemerintah, sebab pemerintah  adalah pimpinan pokok  yang menentukan dinamika masyarakat.
Kong Hu Cu berpendapat lain, yaitu keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu  yang sudah diyakini  atau disepakati.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan  kewajiban.  Jika  kita  hanya  menuntut  hak  dan  lupa  menjalankan  kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak, maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.
Sebagai Contoh, Seorang karyawan  yang  hanya menuntut  hak  kenaikan  upah  tanpa meningkatkan  hasil  kerjanya  tentu  cenderung  disebut  memeras.  Sebaliknya  pula,  seorang majikan yang terus menerus menggunakan tenaga orang lain, tanpa memperhatikan kenaikan upah dan kesejahteraannya, maka perbuatan itu menjurus kepada sifat memperbudak orang atau pegawainya. Oleh  karena  itu, untuk memperoleh keadilan, misalnya,  kita  menuntut kenaikan upah, sudah tentu kita harus berusaha meningkatkan prestasi kerja kita. Apabila kita menjadi  majikan,  kita  harus  memikirkan keseimbangan  kerja  mereka  dengan  upah  yang diterima.

B. Keadilan  Sosial

Berbicara tentang keadilan,  Anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi : "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Dalam dokumen lahirnya Pancasila,  diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya  prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip "tidak ada kemiskinan di dalam  Indonesia merdeka". Dari  usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan.
Bung Hatta  dalam  uraiannya mengenai  sila "Keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat Indonesia" menulis sebagai berikut " keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan  makmur." Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 45 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai  kemakmuran  yang merata.  Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci.
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai  berikut:
"Sila  keadilan  sosial  mengandung prinsip bahwa setiap  orang di Indonesia  akan mendapat  perlakuan  yang  adil  dalam  bidang  hukum,  politik,  ekonomi  dan kebudayaan".
Dalam  ketetapan  MPR  RI  No.II/MPR/1978  tentang  pedoman  penghayatan  dan pengamalan pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai  berikut :
“Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan  masyarakat  Indonesia".
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk,  yakni  :
  1. Perbuatan  luhur  yang  mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati        hak-hak orang lain.
  3. Sikap suka memberi  pertolongan kepada orang yang memerlukan.
  4. Sikap suka bekerja keras.
  5. Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bemianfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan  kegiatan,  antara  lain  melalui  delapan jalur pemerataan,  yaitu  : 1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan. 2) Pemerataan  memperoleh  pendidikan  dan  pelayanan  kesehatan. 3) Pemerataan  pembagian pendapatan. 4) Pemerataan  kesempatan  kerja. 5) Pemerataan  kesempatan  berusaha. 6) Pemerataan  kesempatan berpartisipasi  dalam  pembangunan khususnya bagi  generasi  muda dan kaum wanita. 7)  Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air. 8) Pemerataan  kesempatan memperoleh keadilan.

Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dalam  kehidupan manusia karena dalam  hidupnya  manusia  menghadapi  keadilan / ketidakadilan  setiap  hari.  Oleh  sebab  itu, keadilan dan ketidakadilan menimbulkan daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel, musik dan Iain-lain.

C. Berbagai  Macam  Keadilan

A) Keadilan  Legal  atau  Keadilan  Moral

Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (The man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras  kepada  bagian-bagian  yang  membentuk  suatu  masyarakat.  Keadilan  terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing  orang  sesuai  dengan keserasian  itu.  Setiap orang  tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan  terjadi  apabila  ada  campur  tangan  terhadap  pihak  lain  yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidakserasian. Misalnya, seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, atau seorang petugas pertanian mencampuri urusan petugas kehutanan. Bila itu dilakukan maka akan terjadi kekacauan.

B) Keadilan  Distributif

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Sebagai Contoh, Ali bekerja 10 tahun dan Budi bekerja 5  tahun.  Pada  waktu  diberikan  hadiah  harus  dibedakan  antara  Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp. 100.000,- maka Budi  harus  menerima.  Rp  50.000.  Akan tetapi  bila besar hadiah  Ali  dan  Budi  sama, justru hal tersebut tidak adil.

C) Keadilan  Komutatif

Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh  :
dr.  Sukartono  dipanggil  seorang  pasien,  Yanti  namanya.  Sebagai  seorang  dokter  ia menjalankan  tugasnya  dengan  baik.  Sebaliknya,  Yanti  menanggapi  lebih  baik  lagi. Akibatnya,  hubungan mereka berubah  dari  dokter dan  pasien  menjadi  dua  insan  lain jenis  yang  saling  mencintai.  Bila dr.  Sukartono  belum  berkeluarga mungkin  keadaan akan  baik  saja,ada  keadilan  komutatif.  Akan  tetapi,  karena  dr.Sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr.Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr.Sukartono.

D) Kejujuran

Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah  kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang  masih  terkandung  dalam  hati  nuraninya  yang berupa kehendak, harapan dan niat. Seseorang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah terlahir dalam kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongannya disaksikan orang lain. Sikap jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberaniaan dan ketentraman hati, serta menyucikan lagi pula membuat luhurnya budi pekerti. Seseorang mustahil dapat memeluk agama dengan  sempurna,  apabila lidahnya tidak  suci.  Teguhlah  pada kebenaran,  sekalipun kejujuran  dapat  merugikanmu,  serta  jangan  pula  berdusta,  walaupun  dustamu  dapat menguntungkanmu.
Barangsiapa berkata jujur serta bertindak  sesuai  dengan kenyataan,  artinya orang  itu berbuat benar. Orang  bodoh  yang  jujur  adalah  lebih  baik  daripada  orang  pandai  yang  lancung.
Barangsiapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, termasuk golongan orang munafik  sehingga tidak menerima belas kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.
 Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik-buruk. Di sana manusia dihadapkan kepada pilihan antara yang halal dan  yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat sesuatu yang spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal  tentang jujur dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil, dan sebagainya.
Kejujuran bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M.Alamsyah dalam bukunya Budi  Nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran lokal maupun  kebenaran Illahi. (M.Alamsyah, 1986:83). Nurani yang diperkembangkan dapat menjadi budi nurani  yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat  ditingkatkan menjadi suatu keyakinan, dan atas diri keyakinannya maka seseorang diketahui kepribadiannya. Orang yang memiliki  ketulusan  tinggi  akan  memiliki  keyakinan  yang  matang,  sebaliknya  orang  yang hatinya tidak bersih dan mau berpikir curang, memiliki kepribadian yang buruk dan rendah dan sering tidak  yakin pada dirinya. Karena apa yang ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pemikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolok ukur hati nurani, seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau buruk, benar atau  salah.  Hati  nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus menerus  berpikir  atau  bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konflik batin, ia akan terus mengalami ketegangan, dan sifat kepribadiannya yang semestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada jasmani maupun rohaninya yang menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis atau susila ini antara lain wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan ataupun ketidakadilan. Nilai-nilai  etis ini  dikaitkan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Selain nilai etis yang ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat juga dalam  hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepada-Nya sebagai Sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahkan-Nya, berusaha untuk tidak melanggar larangan-Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan-Nya, selalu merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang  digariskan-Nya,  akan  selalu  gelisah  tidur bila belum menjalankan ibadah untuk-Nya.
Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi, terpaksa ingin populer.
Mochtar Lubis dalam bukunya Jalan Tak Ada Ujung, menggambarkan Guru Isa yang memiliki  dasar kejujuran,  pada suatu  waktu karena desakan ekonomi berbuat curang juga seperti kutipan di bawah ini  :
....... la telah selesai memeriksa buku-buku pelajaran murid-muridnya. Buku-buku tulis itu disusunnya kembali baik-baik dan dimasukkannya kedalam laci mejanya.  Ketika tangannya memasukkan buku-buku itu kembali matanya melihat bungkusan buku-buku tulis baru. Lima puluh buah sebungkus, dan  ada empat bungkus lagi  tinggal.  Buku tulis  itu mahal di luar. Dan di rumah uang telah habis. Jika diambilnya sebungkus. tidak  ada  orang  yang  tahu,  pikirnya.  Dan dengan uang  itu  dia  akan dapat  membeli  beras.  Rasa malu  menjalar ke  dalam  hatinya,  ketika pikiran ini melintas kekepalanya, "sampai bisa niat mencuri masuk ke dalam  kepalaku”, pikirnya, malu pada dirinya sendiri Setelah ia tahu betul tak ada orang lagi, maka dengan lekas ia berdiri, pergi membuka almari. Dari dalam almari dikeluarkannya sepuluh buku tulis  baru,  dimasukkan  cepat-cepat  ke dalam  tasnya.   Setiap  dia melakukan perbuatan ini selalu timbul juga rasa malunya harus mencuri demikian.  Tetapi  perasaan  malu  semakin  tipis.  Hari  ini  tidak  begitu terasa lagi  sama  sekali.  Sebentar  dia  ingat  kepada  perkataan  Hazil yang  mengatakan  bahwa  manusia  bisa  biasa  pada  apa  saja.  Pada kekerasan, pembunuhan.  Juga pada pencurian......
Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari  kehidupan manusia itu sendiri.
Ketidakjujuran sangat luas wawasannya, sesuai dengan luasnya kehidupan dan kebutuhan hidup manusia.
Bagi seniman kejujuran dan ketidakjujuran membangkitkan daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari kandungan peristiwa atau kasus ketidakjujuran. Hal ini, karena dengan  mengkomunikasikan hal yang sebaliknya manusia akan terangsang untuk berbuat jujur.
Untuk  mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas yang dapat dibenarkan.

E) Kecurangan

Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang  dari awalnya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha ? Sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar. Yang  dimaksud dengan keuntungan  di sini adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang berbuat curang menganggap akan  mendatangkan kesenangan atau  keenakan, meskipun orang lain menderita karenanya.
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat di sekelilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang  bila  ada  yang  melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih lagi mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak diridhoi Tuhan.
Bermacam-macam sebab orang melakukaan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek  peradaban,  dan  aspek  teknik.  Apabila  keempat  aspek  tersebut  dilaksanakan  secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam  hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Mengenai baik dan buruk, Pujowiyatno dalam bukunya "filsafat sana-sini" menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya membohong, menipu, merampas, memalsu dan Iain-lain adalah bersifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia.  Pada diri manusia seakan-akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya. Namun, sukarlah untuk mengajukan ukuran penilaian mengenai hal yang penting ini.  Dalam hidup kita mempunyai semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan ada lawannya, pada tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
Dalam pewayangan soal baik dan buruk ini juga diajukan tidak secara teori, juga tidak ditunjuk jelas apakah yang menjadi ukuran baik. Namun terang sekali ajaran perwayangan secara konkrit,  ksatria  yang dianggap sebagai wakil kebaikan, kalau berperang melawan raksasa sebagai wakil kebalikan baik itu, tentu menang; tidak selalu segera, tetapi kemenangan terakhir tentulah pada kebaikan.
Malah ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa perwayangan itu hanya menggambarkan peperangan antara yang baik dan buruk. Mungkin, ini secara Barat banyak benarnya. Kami katakan secara Barat, karena pikiran orang Barat suka kepada yang abstrak, berlaku umum. Tetapi kalau ditinjau dari alam perwayangan itu sendiri, kami rasa kurang cocok, karena disini serba konkrit dan serba tertentu dan kalau hendak yang mencari yang umum dan konkrit itu, diserahkan saja kepada penonton  wayang. Biasanya inipun tidak terlalu perlu, karena dalam tingkah laku yang sebenamya toh konkrit pula.
Dalam tingkah laku yang konkrit itu ternyata masih sulit untuk membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana lagi yang sebaliknya. Mungkin saja dicarikan alasan-alasan yang menerangkan bahwa yang buruk itu baik juga, tetapi akhirnya toh akan nyata buruknya juga. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "Becik ketitik, ala ketara" artinya yang baik akan nampak, yang buruk akan nyata juga. Siapa yang baik, dan siapa yang buruk tingkah lakunya.
Pertunjukkan wayang dalam cerita-ceritanya itu sudah tua sekali dan pada waktu itu masih zaman feodal. Yang dianggap baik ialah raja. Raja tidak dapat keliru, serba benar dan serba baik.
Dalam perwayangan, yang baik ialah raja perwayangan, tidak semua raja, melainkan raja tanah Jawa, itulah yang sebenarnya raja. Semua peristiwa dalam perwayangan terjadi di tanah jawa atau sehubungan dengan tanah jawa. Ini tentu saja tidak perlu tanah jawa geografik sekarang ini, tetapi tanah jawa perwayangan.
Kalau demikian yang melawan tanah jawa itu yang hendak merusak dan menjajah, mau  menfitnah, semuanya yang melawan raja itu berarti melawan yang baik dan dengan demikian buruklah ia sehingga akhimya tentu kalah juga.
Dalam perwayangan, terutama wayang purwa, lakon-lakon diangkat dari siklus Pandawa sebab raja-rajanya itu menurut kepercayaan mereka juga keturunan Wisnu. Dalam lakon-lakon itu, Pandawa juga selalu baik, serba jujur, tulus, kuasa tetapi sederhana, suka memberi pertolongan juga kepada dewa kalau ada kesulitan.
Sebaliknya, kurawa merupakan penjelmaan buruk, tidak jujur, tidak tahu apa-apa, tidak dapat berperang, kalau berperang selalu kalah. Rajanya waktu hendak kawin saja harus ditolong oleh Harjuna.
Penasehatnya, Pandita Drona, itupun bukan pendeta yang jujur, bukan ahli tapa, tetapi iri  hati, congkak. Hanya pembicaraannya yang muluk-muluk, tetapi sebetulnya tak berarti sehingga ia bukanlah pendeta yang sebenarnya karena tidak mencari  kebenaran.
Yang diutarakan di atas tidak itu tidak  semuanya sesuai  dengan cerita dalam  sumber cerita itu. Penjelasan itu hanya bertujuan menerangkan adanya perlawanan baik dan buruk, dan perlawanan ini total, lebih dari bumi-langit atau terang dan gelap, melainkan baik lawan tidak baik, buruk.
Dalam cerita-cerita itu selalu secara konkret diperlihatkan bahwa orang yang buruk selalu terkalahkan oleh yang baik (akan tetapi adakah ukuran mengenai kebaikan dan keburukan pada umumnya sehingga suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran itu dapat dikatakan baik dan yang tidak sesuai adalah buruk, kalau ukuran itu umum, maka kebaikan dan sebaliknya juga umum  dan abstrak.
Dalam perwayangan pertunjukkan ini serba konkret. Masalahnya bagaimana silih berganti baik dan buruk. ?
Dalam siklus Rama, secara konkret terang sekali Rama berlawanan dengan Rahwana. Rahwana merupakan penjelmaan buruk. Tindakan Rahwana itu bagi orang kebanyakan jelas tidak baik, karena ia mencuri  istri  rama.
Peperangan antara Rama dan Rahwana ketika kerajaan Rahwana diserbu oleh Rama, menyebabkan banyak pahlawan negara Alengka (kerajaan Rahwana) gugur, baik anak Rahwana maupun saudaranya.  Masih  ada  dua  saudara  yang  gagah  dan  sakti,  yaitu  Wibisana  dan Kumbakama. Wibisana yakin bahwa tindakan kakaknya (Rahwana) itu tidak baik. Pada waktu ia diminta  kakaknya untuk berperang melawan Rama, ia tidak mau, malahan ia menasehati  kakaknya supaya  segera  tunduk  kepada  Rama,  penjelmaan  Wisnu  itu,  serta mengembalikan istrinya. Rahwana marah sekali dan mengusir Wibisana. Wibisana pergi, dan pergilah ia ke Rama menganut  keyakinannya  bahwa  perang  itu  perang  yang  tidak  baik. Baginya membela negara tak mungkin karena itu tidak baik pula, sebab rajanya tidak baik. Ia yakin bahwa Rama penjelmaan Wisnu, penyelenggara alam serta dunia.  Patutlah kalau Wibisana mengabdi Rama sebab ia terikat oleh yang baik, ia harus mengikuti kebaikan.
Kumbakama adalah seorang panglima, ahli perang dan amat jujur. la tahu bahwa kakaknya kepala negara yang tidak baik sifatnya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai manusia. lapun dipanggil raja serta diperintah, untuk melawan Rama yang menyerbu negaranya. Kumbakama tahu akan  perintah  itu, dan ia tahu ia akan kalah, akan tetapi ia lebih dulu mengatakan bahwa tingkah laku kakaknya itu  tidak baik. Jalan yang paling jujur untuk menyelamatkan negara ialah mengembalikan istri Rama kepada yang berhak.
Rahwana amat marah dan mengungkit-ungkit kemuliaan dan keagungan yang telah diberikan kepada Kumbakama, karena itu ia wajib melakukan segala perintahnya. Kumbakama mengembalikan segala kemuliaan dan keagungan itu, sebab ia tidak mengabdi untuk kemuliaan; dalam  wayang  diceritakan,  bahwa  Kumbakama memuntahkan  segala  makanan  yang  telah diterimanya di  hadapan rajanya.
Namun, Kumbakama berangkat juga ke medan perang bukan membela kakaknya tetapi membela negara sebagai warisan dari nenek moyangnya, dan gugurlah ia. Dalam pewayangan sikap kedua satria itu sangat terhomat, walaupun berlawanan; yang seorang mengikuti musuh, yang seorang gugur dalam medan perang. Tetapi kedua-duanya mempunyai alasan pribadi; Kumbakama beralasan, bahwa perang untuk memenuhi kewajiban sebagai panglima, benar tidaknya urusan itu bukan urusan dia, melainkan urusan panglima tertinggi yaitu raja.
Wibisana  berkeyakinan  bahwa  orang  harus mengikuti Wisnu karena Wisnu itu penyelamat dunia dan barang siapa merongrong keselamatan  dunia ia akan musnah dari dunia, walaupun itu saudara sendiri.
Alasan Kumbakama lebih masuk akal. ia berangkat ke medan perang untuk memenuhi kewajibannya sebagai  panglima, apakah akibatnya, ia  akan gugur, itu bukan pertanyaan baginya. Waktu ia dengan laskarnya melewati perbatasan negaranya untuk menghadapi musuh, dewa-dewa menghormati dia dengan menghujankan wangi-wangian.
Waktu Wibisana melintasi perbatasan untuk mengabdi diri kepada Rama, penjelmaan Wisnu, malakukan dan mengikuti  kebenaran dengan tidak memperdulikan kata orang  dan kemarahan kakaknya yang juga rajanya, dewa-dewa mengangakan mulutnya kagum atas itikad baik pahlawan itu.

F) Pemulihan Nama Baik

Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela.  Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi  orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan  batin  yang tak ternilai harganya.
Ada peribahasa berbunyi "daripada berputih mata lebih baik berputih tulang" artinya orang lebih baik mati dari pada  malu.  Betapa  besar nilai  nama  baik  itu  sehingga  nyawa menjadi  taruhannya.  Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya "jagalah nama keluargamu!" Dengan menyebut "nama" berarti sudah mengandung arti "nama baik". Ada pula  pesan  orang  tua "jangan membuat malu" pesan  itu juga berarti  menjaga  nama  baik.
Orang tua yang menghadapi  anaknya yang sudah dewasa sering kali berpesan "laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang kau anggap tidak baik!". Dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga.
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau  perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :

  1. Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
  2. Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri  sebagai pelaku  moral  tersebut.
Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya,  bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak.
Akhlak berasal dari bahasa Arab, akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti  penciptaan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptaanya sebagai manusia. Untuk itu, orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan akhlak yang baik.
Ada tiga macam godaaan yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus ke jurang kenistaan karena untuk memiliki  derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohong, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
Hawa nafsu dan angan-angan bagaikan sungai dan air. Hawa nafsu yang tidak tersalurkan melalui  sungai  yang baik, yang benar, akan meluap kemana-mana yang akhirnya sangat berbahaya, menjerumuskan manusia ke lumpur dosa.
Ada  godaan  halus, yang dalam bahasa jawa, adigang, adigung, adiguna,  yaitu membanggakan kekuasaan, kebesarannya dan kepandaiannya. Semua itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat budi dan dengan  memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang, tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.

G) Pembalasan

Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain, reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
Sebagai Contoh, A. memberikan makanan kepada B. Di lain kesempatan B memberikan minuman  kepada  A.  Perbuatan  tersebut  merupakan  perbuatan  serupa,  dan  ini  merupakan pembalasan.
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan.  Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari  perintah Tuhanpun diberikan pembalasan dan pembalasan  yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di  neraka.
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan  makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral,  lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah pebuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
Oleh karena tiap manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.




0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com