Menurut O’Brien (2005)
keberhasilan sistem informasi tidak seharusnya diukur hanya melalui efisiensi
biaya, waktu dan penggunaan sumber daya informasi. Keberhasilan juga harus
diukur dari efektivitas teknologi informasi dalam mendukung strategi bisnis organisasi,
memungkinkan proses bisnisnya, meningkatkan struktur organisasi dan budaya
serta meningkatkan nilai pelanggan dan bisnis perusahaan. Rosemary Cafasaro
dalam O’Brien (2009) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
kesuksesan atau kegagalan penerapan sistem informasi dalam suatu organisasi
atau perusahaan antara lain : dukungan manajemen eksekutif, keterlibatan end user (pemakai akhir),
kejelasan penggunaan kebutuhan perusahaan, kematangan perencanaan dan harapan
perusahaan yang nyata. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan
sistem informasi antara lain: kurangnya input dari end user, tidak lengkapnya
pernyataan kebutuhan dan spesifikasi, pernyataan kebutuhan dan spesifikasi yang
senantiasa berubah-ubbah, kurangnya dukungan manajemen eksekutif serta
inkompetensi secara teknologi.
Menurut Heeks (2003) sebagian besar
penyebab kegagalan aplikasi e-Gov di negara berkembang adalah karena
ketidakpahaman mengenai keadaan saat ini (where
are we now) dengan apa yang yang akan kita capai dengan proyek
e-government (where the e-government projects
wants to get us). Dengan kata lain terjadi gap atau kesenjangan antara
rancangan e-Gov yang telah dibuat dengan realitas yang dihadapi sekarang.
Kesenjangan ini terdapat dalam berbagai dimensi yang dikenal dengan istilah
ITPOSMO (Information, Technology,
Processes, Objective and Values, Staffing and skills, Management systems and
structures, Other resources : time and money).
Faktor-faktor
Penyebab kegagalan umum sistem informasi
Faktor-faktor
yang menyebaban kesuksesan sistem informasi sebagaimana pendapat Rosemary
Cafasaro dalam O’Brien (2009) dipaparkan sebagai berikut :
1.
Kurangnya
input dari end user
2.
Tidak
lengkapnya pernyataan kebutuhan dan spesifikasi
3.
Pernyataan
kebutuhan dan spesifikasi yang senantiasa berubah-ubah
4.
Kurangnya
dukungan eksekutif
5.
Inkompetensi
secara teknologi
6.
Perencanaan
yang tidak tepat dan tidak matang
1.
Kurangnya
input dari end user
Kurangnya
keterlibatan end user pada
saat proses perancangan sistem akan menemui kegagalan pada saat
diterapkan karena terjadi kesenjangan atau gap antara pengguna dan perancang
atau pakar SI. Kesenjangan itu timbul karena keduanya memiliki latar belakang
dan kepentingan yang berbeda (user-designer communication gap).
Kesenjangan ini pada akhirnya akan menciptakan kegagalan dalam pelaksanaan
sistem informasi.
2.
Tidak
lengkapnya pernyataan kebutuhan dan spesifikasi
Kebutuhan
yang telah dirumuskan tersebut apabila tidak mendapatkan dukungan berupa
infrastruktur yang memadai akan menyebabkan kegagalan pada sistem informasi.
3.
Pernyataan
kebutuhan dan spesifikasi yang senantiasa berubah-ubah
Penerapan
sistem informasi pada suatu organisasi harus dilakukan perumusan dengan jelas
tentang kebutuhan dan spesifikasi penggunan sistem informasi tersebut.
Pernyataan kebutuhan yang tidak ditegaskan sejak awal akan berdampak negatif
pada saat sistem informasi diimplementasikan dan pada akhirnya menemui
kegagalan.
4.
Kurangnya
dukungan manajemen eksekutif
Apabila
penerapan sistem informasi tidak mendapatkan dukungan dari beberapa unsur
manajemen eksekutif sebagai pengambil keputusan maka penerapan sistem
organisasi akan menemui kegagalan dan mengakibatkan dampak seperti : terjadi
inefisiensi biaya, pelaksanaan penerapan sistem informasi melebihi target waktu
yang telah ditentukan, kendala teknis serta kegagalan memperoleh manfaat yang
diharapkan.
5.
Inkompetensi
secara teknologi
Penerapan
dan pengembangan sistem informasi sangat membutuhkan peranan manusia sebagai
brainware/operator. Apabila sumberdaya manusia dalam organisasi tidak memiliki
kompetensi akan perkembangan teknologi yang semakin maju maka penerapan
sistem informasi akan mengalami kesulitan. Sistem informasi yang tidak sesuai
dengan kemampuan SDM akan mengakibatkan pelaksanaan sistem informasi menghadapi
kegagalan.
6.
Perencanaan
yang tidak tepat dan tidak matang
Pengembangan
dan penerapan sistem informasi yang tidak didukung oleh perencanaan yang matang
tidak akan mampu menjadi mediator antara berbagai keinginan dan kepentingan
dalam suatu organisasi. Sistem yang tidak memiliki road map yang
jelas tidak mampu menjadi pegangan dalam melaksanakan sistem informasi sesuai
tujuan organisasi. Sistem informasi yang tidak dirancang sesuai kebutuhan
organisasi pada akhirnya akan menemui kegagalan dalam penerapannya dan hanya
menimbulkan inefisiensi dalam hal biaya, waktu dan tenaga.
CONTOH KASUS KEGAGALAN PENERAPAN E-GOVERNMENT DI INDONESIA
Salah
satu contoh kegagalan penerapan e-government di Indonesia adalah pelaksanaan
e-Procurement. e-Procurement adalah proses pengadaan barang/jasa yang
pelaksanaannya dilakukan secara elektronik yang berbasis web/internet dengan
memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi yang meliputi
pelelangan umum, pra kualifikasi dan sourcing secara elektronik dengan
menggunakan modul berbasis website. Proses pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan dengan menggunakan e-procurement secara signifikan akan meningkatkan
kinerja, efektifitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas transaksi yang
dilakukan. Selain itu dapat mengurangi biaya operasional secara signifikan
karena tidak diperlukan lagi penyerahan dokumen fisik dan proses administrasi
yang memakan waktu dan biaya.
Contoh kegagalan tersebut
dapat dilihat sebagai berikut. Pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Kalimantan Timur memutuskan untuk bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya
dalam pengembangan dan implementasi sistem e-procurement di lingkungan Pemprov
Kaltim.
Peran Pemimpin E Government
Menurut hasil kajian dan riset dari
Harvard JFK School of Government, untuk menerapkan konsep-konsep digitalisasi
pada sector public, ada tiga elemen sukses yang harus dimiliki dan diperhatikan
sungguh-sungguh. Masing-masing elemen sukses tersebut adalah :
1.
Support
Seperti yang kita tahu, arti dari kata
support sendiri adalah dukungan. Hal terpenting dalam hal dukungan adalah unsur
pimpinan. Pimpinan harus memiliki political will untuk mengembangkan
e-government, karena hal ini akan menyangkut seluruh proses dari e-government.
Artinya, pemimpin tidak saja harus pintar dalam hal pneyusunan konsep, tetapi
harus juga menjadi motivator ulung pada fase pelaksanaannya (action). Tanpa
adanya unsur political will, mustahil berbagai inisiatif pembangunan dan
pengembangan e-Government dapat berjalan dengan mulus.
2.
Capacity
Capacity (kemampuan), yaitu keberdayaan
pemerintah setempat dalam mewujudkan “impian” e-Government menjadi kenyataan.
Terdapat tiga hal penting yang harus dimiliki pemerintah sehubungan dengan
elemen ini, yaitu :
Ketersediaan
sumberdaya yang cukup untuk melaksanakan berbagai inisiatif e-Government.
Ketersediaan
infrastruktur teknologi informasi yang memadai.
Ketersediaan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian.
3.
Value.
Value (Nilai) merupakan manfaat yang
secara signifikan dapat dirasakan oleh masyarakat atau pihak lain dengan adanya
penerapan e-Government. Salah dalam mengerti kebutuhan masyarakat, justru akan
menjadi boomerang bagi pemerintah yang berdampak pada sulitnya penerapan usaha
pengembangan konsep e-Government.
Sedangkan
sistem informasi pada pemerintahan,seorang pemimpin harus berperan dalam
menerapkan e-government dengan menyusun strategi secara matang dan
berkualitas,dan dengan adanya kesadaran dari pemimpin,serta pemimpin yang
ditunjang dengan ilmu pengetahuan dan skill maka e-government dapat terealisasi
sebagaimana mestinya