Ilmu Budaya Dasar
(Manusia dan Keadilan)
Kelompok 6
Ersa Febriandi Mahendra : 12115264
Fanny Dwi Fabian : 12115467
Jody Rinaldy : 13115578
Suryo Tri Wibowo : 16115726
A.Pengertian Keadilan
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrim itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal.
Lain lagi pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan pada pemerintah, sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat.
Kong Hu Cu berpendapat lain, yaitu keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak, maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.
Sebagai Contoh, Seorang karyawan yang hanya menuntut hak kenaikan upah tanpa meningkatkan hasil kerjanya tentu cenderung disebut memeras. Sebaliknya pula, seorang majikan yang terus menerus menggunakan tenaga orang lain, tanpa memperhatikan kenaikan upah dan kesejahteraannya, maka perbuatan itu menjurus kepada sifat memperbudak orang atau pegawainya. Oleh karena itu, untuk memperoleh keadilan, misalnya, kita menuntut kenaikan upah, sudah tentu kita harus berusaha meningkatkan prestasi kerja kita. Apabila kita menjadi majikan, kita harus memikirkan keseimbangan kerja mereka dengan upah yang diterima.
B. Keadilan Sosial
Berbicara tentang keadilan, Anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi : "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Dalam dokumen lahirnya Pancasila, diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip "tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka". Dari usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan.
Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menulis sebagai berikut " keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur." Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 45 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci.
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut:
"Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan kebudayaan".
Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai berikut :
“Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia".
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
- Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
- Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan.
- Sikap suka bekerja keras.
- Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bemianfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan jalur pemerataan, yaitu : 1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan. 2) Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. 3) Pemerataan pembagian pendapatan. 4) Pemerataan kesempatan kerja. 5) Pemerataan kesempatan berusaha. 6) Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita. 7) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air. 8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia karena dalam hidupnya manusia menghadapi keadilan / ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab itu, keadilan dan ketidakadilan menimbulkan daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel, musik dan Iain-lain.
C. Berbagai Macam Keadilan
A) Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (The man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidakserasian. Misalnya, seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, atau seorang petugas pertanian mencampuri urusan petugas kehutanan. Bila itu dilakukan maka akan terjadi kekacauan.
B) Keadilan Distributif
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Sebagai Contoh, Ali bekerja 10 tahun dan Budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp. 100.000,- maka Budi harus menerima. Rp 50.000. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
C) Keadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh :
dr. Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya. Sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya, Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis yang saling mencintai. Bila dr. Sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja,ada keadilan komutatif. Akan tetapi, karena dr.Sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr.Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr.Sukartono.
D) Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat. Seseorang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah terlahir dalam kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongannya disaksikan orang lain. Sikap jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberaniaan dan ketentraman hati, serta menyucikan lagi pula membuat luhurnya budi pekerti. Seseorang mustahil dapat memeluk agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikanmu, serta jangan pula berdusta, walaupun dustamu dapat menguntungkanmu.
Barangsiapa berkata jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu berbuat benar. Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik daripada orang pandai yang lancung.
Barangsiapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, termasuk golongan orang munafik sehingga tidak menerima belas kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.
Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik-buruk. Di sana manusia dihadapkan kepada pilihan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat sesuatu yang spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal tentang jujur dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil, dan sebagainya.
Kejujuran bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M.Alamsyah dalam bukunya Budi Nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran lokal maupun kebenaran Illahi. (M.Alamsyah, 1986:83). Nurani yang diperkembangkan dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi suatu keyakinan, dan atas diri keyakinannya maka seseorang diketahui kepribadiannya. Orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki keyakinan yang matang, sebaliknya orang yang hatinya tidak bersih dan mau berpikir curang, memiliki kepribadian yang buruk dan rendah dan sering tidak yakin pada dirinya. Karena apa yang ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pemikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolok ukur hati nurani, seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus menerus berpikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konflik batin, ia akan terus mengalami ketegangan, dan sifat kepribadiannya yang semestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada jasmani maupun rohaninya yang menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis atau susila ini antara lain wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan ataupun ketidakadilan. Nilai-nilai etis ini dikaitkan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Selain nilai etis yang ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat juga dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepada-Nya sebagai Sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahkan-Nya, berusaha untuk tidak melanggar larangan-Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan-Nya, selalu merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang digariskan-Nya, akan selalu gelisah tidur bila belum menjalankan ibadah untuk-Nya.
Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi, terpaksa ingin populer.
Mochtar Lubis dalam bukunya Jalan Tak Ada Ujung, menggambarkan Guru Isa yang memiliki dasar kejujuran, pada suatu waktu karena desakan ekonomi berbuat curang juga seperti kutipan di bawah ini :
....... la telah selesai memeriksa buku-buku pelajaran murid-muridnya. Buku-buku tulis itu disusunnya kembali baik-baik dan dimasukkannya kedalam laci mejanya. Ketika tangannya memasukkan buku-buku itu kembali matanya melihat bungkusan buku-buku tulis baru. Lima puluh buah sebungkus, dan ada empat bungkus lagi tinggal. Buku tulis itu mahal di luar. Dan di rumah uang telah habis. Jika diambilnya sebungkus. tidak ada orang yang tahu, pikirnya. Dan dengan uang itu dia akan dapat membeli beras. Rasa malu menjalar ke dalam hatinya, ketika pikiran ini melintas kekepalanya, "sampai bisa niat mencuri masuk ke dalam kepalaku”, pikirnya, malu pada dirinya sendiri Setelah ia tahu betul tak ada orang lagi, maka dengan lekas ia berdiri, pergi membuka almari. Dari dalam almari dikeluarkannya sepuluh buku tulis baru, dimasukkan cepat-cepat ke dalam tasnya. Setiap dia melakukan perbuatan ini selalu timbul juga rasa malunya harus mencuri demikian. Tetapi perasaan malu semakin tipis. Hari ini tidak begitu terasa lagi sama sekali. Sebentar dia ingat kepada perkataan Hazil yang mengatakan bahwa manusia bisa biasa pada apa saja. Pada kekerasan, pembunuhan. Juga pada pencurian......
Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
Ketidakjujuran sangat luas wawasannya, sesuai dengan luasnya kehidupan dan kebutuhan hidup manusia.
Bagi seniman kejujuran dan ketidakjujuran membangkitkan daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari kandungan peristiwa atau kasus ketidakjujuran. Hal ini, karena dengan mengkomunikasikan hal yang sebaliknya manusia akan terangsang untuk berbuat jujur.
Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas yang dapat dibenarkan.
E) Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari awalnya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha ? Sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar. Yang dimaksud dengan keuntungan di sini adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang berbuat curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau keenakan, meskipun orang lain menderita karenanya.
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat di sekelilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang bila ada yang melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih lagi mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak diridhoi Tuhan.
Bermacam-macam sebab orang melakukaan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Mengenai baik dan buruk, Pujowiyatno dalam bukunya "filsafat sana-sini" menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya membohong, menipu, merampas, memalsu dan Iain-lain adalah bersifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia seakan-akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya. Namun, sukarlah untuk mengajukan ukuran penilaian mengenai hal yang penting ini. Dalam hidup kita mempunyai semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan ada lawannya, pada tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
Dalam pewayangan soal baik dan buruk ini juga diajukan tidak secara teori, juga tidak ditunjuk jelas apakah yang menjadi ukuran baik. Namun terang sekali ajaran perwayangan secara konkrit, ksatria yang dianggap sebagai wakil kebaikan, kalau berperang melawan raksasa sebagai wakil kebalikan baik itu, tentu menang; tidak selalu segera, tetapi kemenangan terakhir tentulah pada kebaikan.
Malah ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa perwayangan itu hanya menggambarkan peperangan antara yang baik dan buruk. Mungkin, ini secara Barat banyak benarnya. Kami katakan secara Barat, karena pikiran orang Barat suka kepada yang abstrak, berlaku umum. Tetapi kalau ditinjau dari alam perwayangan itu sendiri, kami rasa kurang cocok, karena disini serba konkrit dan serba tertentu dan kalau hendak yang mencari yang umum dan konkrit itu, diserahkan saja kepada penonton wayang. Biasanya inipun tidak terlalu perlu, karena dalam tingkah laku yang sebenamya toh konkrit pula.
Dalam tingkah laku yang konkrit itu ternyata masih sulit untuk membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana lagi yang sebaliknya. Mungkin saja dicarikan alasan-alasan yang menerangkan bahwa yang buruk itu baik juga, tetapi akhirnya toh akan nyata buruknya juga. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "Becik ketitik, ala ketara" artinya yang baik akan nampak, yang buruk akan nyata juga. Siapa yang baik, dan siapa yang buruk tingkah lakunya.
Pertunjukkan wayang dalam cerita-ceritanya itu sudah tua sekali dan pada waktu itu masih zaman feodal. Yang dianggap baik ialah raja. Raja tidak dapat keliru, serba benar dan serba baik.
Dalam perwayangan, yang baik ialah raja perwayangan, tidak semua raja, melainkan raja tanah Jawa, itulah yang sebenarnya raja. Semua peristiwa dalam perwayangan terjadi di tanah jawa atau sehubungan dengan tanah jawa. Ini tentu saja tidak perlu tanah jawa geografik sekarang ini, tetapi tanah jawa perwayangan.
Kalau demikian yang melawan tanah jawa itu yang hendak merusak dan menjajah, mau menfitnah, semuanya yang melawan raja itu berarti melawan yang baik dan dengan demikian buruklah ia sehingga akhimya tentu kalah juga.
Dalam perwayangan, terutama wayang purwa, lakon-lakon diangkat dari siklus Pandawa sebab raja-rajanya itu menurut kepercayaan mereka juga keturunan Wisnu. Dalam lakon-lakon itu, Pandawa juga selalu baik, serba jujur, tulus, kuasa tetapi sederhana, suka memberi pertolongan juga kepada dewa kalau ada kesulitan.
Sebaliknya, kurawa merupakan penjelmaan buruk, tidak jujur, tidak tahu apa-apa, tidak dapat berperang, kalau berperang selalu kalah. Rajanya waktu hendak kawin saja harus ditolong oleh Harjuna.
Penasehatnya, Pandita Drona, itupun bukan pendeta yang jujur, bukan ahli tapa, tetapi iri hati, congkak. Hanya pembicaraannya yang muluk-muluk, tetapi sebetulnya tak berarti sehingga ia bukanlah pendeta yang sebenarnya karena tidak mencari kebenaran.
Yang diutarakan di atas tidak itu tidak semuanya sesuai dengan cerita dalam sumber cerita itu. Penjelasan itu hanya bertujuan menerangkan adanya perlawanan baik dan buruk, dan perlawanan ini total, lebih dari bumi-langit atau terang dan gelap, melainkan baik lawan tidak baik, buruk.
Dalam cerita-cerita itu selalu secara konkret diperlihatkan bahwa orang yang buruk selalu terkalahkan oleh yang baik (akan tetapi adakah ukuran mengenai kebaikan dan keburukan pada umumnya sehingga suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran itu dapat dikatakan baik dan yang tidak sesuai adalah buruk, kalau ukuran itu umum, maka kebaikan dan sebaliknya juga umum dan abstrak.
Dalam perwayangan pertunjukkan ini serba konkret. Masalahnya bagaimana silih berganti baik dan buruk. ?
Dalam siklus Rama, secara konkret terang sekali Rama berlawanan dengan Rahwana. Rahwana merupakan penjelmaan buruk. Tindakan Rahwana itu bagi orang kebanyakan jelas tidak baik, karena ia mencuri istri rama.
Peperangan antara Rama dan Rahwana ketika kerajaan Rahwana diserbu oleh Rama, menyebabkan banyak pahlawan negara Alengka (kerajaan Rahwana) gugur, baik anak Rahwana maupun saudaranya. Masih ada dua saudara yang gagah dan sakti, yaitu Wibisana dan Kumbakama. Wibisana yakin bahwa tindakan kakaknya (Rahwana) itu tidak baik. Pada waktu ia diminta kakaknya untuk berperang melawan Rama, ia tidak mau, malahan ia menasehati kakaknya supaya segera tunduk kepada Rama, penjelmaan Wisnu itu, serta mengembalikan istrinya. Rahwana marah sekali dan mengusir Wibisana. Wibisana pergi, dan pergilah ia ke Rama menganut keyakinannya bahwa perang itu perang yang tidak baik. Baginya membela negara tak mungkin karena itu tidak baik pula, sebab rajanya tidak baik. Ia yakin bahwa Rama penjelmaan Wisnu, penyelenggara alam serta dunia. Patutlah kalau Wibisana mengabdi Rama sebab ia terikat oleh yang baik, ia harus mengikuti kebaikan.
Kumbakama adalah seorang panglima, ahli perang dan amat jujur. la tahu bahwa kakaknya kepala negara yang tidak baik sifatnya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai manusia. lapun dipanggil raja serta diperintah, untuk melawan Rama yang menyerbu negaranya. Kumbakama tahu akan perintah itu, dan ia tahu ia akan kalah, akan tetapi ia lebih dulu mengatakan bahwa tingkah laku kakaknya itu tidak baik. Jalan yang paling jujur untuk menyelamatkan negara ialah mengembalikan istri Rama kepada yang berhak.
Rahwana amat marah dan mengungkit-ungkit kemuliaan dan keagungan yang telah diberikan kepada Kumbakama, karena itu ia wajib melakukan segala perintahnya. Kumbakama mengembalikan segala kemuliaan dan keagungan itu, sebab ia tidak mengabdi untuk kemuliaan; dalam wayang diceritakan, bahwa Kumbakama memuntahkan segala makanan yang telah diterimanya di hadapan rajanya.
Namun, Kumbakama berangkat juga ke medan perang bukan membela kakaknya tetapi membela negara sebagai warisan dari nenek moyangnya, dan gugurlah ia. Dalam pewayangan sikap kedua satria itu sangat terhomat, walaupun berlawanan; yang seorang mengikuti musuh, yang seorang gugur dalam medan perang. Tetapi kedua-duanya mempunyai alasan pribadi; Kumbakama beralasan, bahwa perang untuk memenuhi kewajiban sebagai panglima, benar tidaknya urusan itu bukan urusan dia, melainkan urusan panglima tertinggi yaitu raja.
Wibisana berkeyakinan bahwa orang harus mengikuti Wisnu karena Wisnu itu penyelamat dunia dan barang siapa merongrong keselamatan dunia ia akan musnah dari dunia, walaupun itu saudara sendiri.
Alasan Kumbakama lebih masuk akal. ia berangkat ke medan perang untuk memenuhi kewajibannya sebagai panglima, apakah akibatnya, ia akan gugur, itu bukan pertanyaan baginya. Waktu ia dengan laskarnya melewati perbatasan negaranya untuk menghadapi musuh, dewa-dewa menghormati dia dengan menghujankan wangi-wangian.
Waktu Wibisana melintasi perbatasan untuk mengabdi diri kepada Rama, penjelmaan Wisnu, malakukan dan mengikuti kebenaran dengan tidak memperdulikan kata orang dan kemarahan kakaknya yang juga rajanya, dewa-dewa mengangakan mulutnya kagum atas itikad baik pahlawan itu.
F) Pemulihan Nama Baik
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya.
Ada peribahasa berbunyi "daripada berputih mata lebih baik berputih tulang" artinya orang lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya "jagalah nama keluargamu!" Dengan menyebut "nama" berarti sudah mengandung arti "nama baik". Ada pula pesan orang tua "jangan membuat malu" pesan itu juga berarti menjaga nama baik.
Orang tua yang menghadapi anaknya yang sudah dewasa sering kali berpesan "laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang kau anggap tidak baik!". Dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga.
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
- Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
- Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak.
Akhlak berasal dari bahasa Arab, akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptaanya sebagai manusia. Untuk itu, orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan akhlak yang baik.
Ada tiga macam godaaan yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus ke jurang kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohong, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
Hawa nafsu dan angan-angan bagaikan sungai dan air. Hawa nafsu yang tidak tersalurkan melalui sungai yang baik, yang benar, akan meluap kemana-mana yang akhirnya sangat berbahaya, menjerumuskan manusia ke lumpur dosa.
Ada godaan halus, yang dalam bahasa jawa, adigang, adigung, adiguna, yaitu membanggakan kekuasaan, kebesarannya dan kepandaiannya. Semua itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat budi dan dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang, tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.
G) Pembalasan
Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain, reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
Sebagai Contoh, A. memberikan makanan kepada B. Di lain kesempatan B memberikan minuman kepada A. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan ini merupakan pembalasan.
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhanpun diberikan pembalasan dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah pebuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
Oleh karena tiap manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.